Flexing The Millennials

Photo by Max Okhrimenko on Unsplash

Millennials, generasi yang selalu saja jadi spotlight. Millennial generation atau generasi Y, akrabnya disebut generation me atau echo boomers. Sejarahnya dulu, isitilah millenials yang diciptakan oleh dua pakar sejarah dan penulis Amerika, William Strauss dan Neil Howe ini, di klaim bahwa generasi millennial ini into digital technology. Serba wajib up-to-date di segala aspek kehidupan mereka. In modern words, we can say that Y generation itu adalah generasi yang tumbuh pada era internet booming (Source : Lyons, 2004).

Di era 2022 ini, millennial yang cukup sat set sat set bahkan expert banget di dunia teknologi sekarang ini, merupakan generasi yang cukup lihai memanfaatkan situasi. They rule the social media.

Bahkan, populasi generasi millennial yang jumlahnya sekitar 69 juta (*Hasil Sensus Penduduk Indonesia 2020 didominasi Generasi Y dengan total terdapat 69.38 juta atau 25,87% dari total penduduk Indonesia) orang ini berkompetisi meraih perhatian banyak orang dengan konten kreatif yang hadir di beragam platform media sosial yang unggul dibandingkan media konvensional lainnya. Salah satunya, pamer kesuksesan di media sosial. Kalau kamu belum berpenampilan branded  dari ujung kaki sampe ujung kepala, berarti kamu belum sukses bestie

Well, fenomena ini tergolong flexing. Sebuah fenomena sosial yang cukup meresahkan. Flexing itu adalah sebuah action yang memamerkan kekayaan yang dimiliki seseorang kepada orang lain.Kata “flexing” ini bisa dibilang sebuah kata yang punya arti yang negatif, dimana itu merupakan sebuah arti bagi seseorang yang suka menyombongkan diri, biasanya sih pamer kekayaan. 

“Cuma buat fun aja kok.”

Boleh bestie, brodie.. As long as it real in your REAL life. Aktivitas flexing ini mungkin dianggap oleh para pelaku itu dibentuk hanya untuk kesenangan semata. Ujung kaki hingga ujung kepala di mark up nilainya ratusan juta hanya untuk sebuah outfit ngopi di coffee shop hits di Jakarta. But again, perilaku seperti ini bahkan bisa ditiru oleh orang banyak. We can sense that this is could be a new lifestyle in our generation. Memprihatinkan? For sure, bro!

Belum lagi di media soaial sudah makin banyak bestie dan brodie ini bebas ngonten dengan menayangkan sesuatu tanpa perantara editor, atau istilah umumnya no parental guide, ngga ada yang menyaring konten mereka wisely, sehingga semua orang bisa menjadi mudah terkenal. 

Yang trending saat ini, mulai dari penampilan serba branded, kendaraan pribadi, hingga menjadi cepat kaya dengan investasi. Berujung pada tindakan penipuan atau fraud. Ternyata benar adanya, untuk sukses ternyata bisa semudah membuat Indomie, kawan! Instan.

Dalam konteks konten bagi followers-nya atau netizen, flexing bisa lho mempengaruhi alam bawah sadar kita. Kalau ngga dibatasi dengan knowledge dan lingkungan yang postif, mereka akan mengikuti orang lain yang dianggap punya power atau kelebihan lebih dibanding dirinya. At the end, pas kita melihat orang itu lebih sukses dari kita, hal seperti itu bisa jadi socialproof kalau orang yang sedang flexing ini bisa dijadikan mentor bahkan leader. Si pelaku flexing ini dengan mudahnya jadi motivator kalau mau jadi sukses itu hal yang mudah. 

Tapi, kalau ngga ikutan trend ini, bakal ketinggalan banyak moment kekinian, yang akhirnya bikin orang jadi gampang banget terkena pengaruh negatif dari flexing ini. Akhirnya, mulai deh kena sindrom FOMO (Fear of Missing Out). Ujungnya jadi merasa tidak pecaya diri kalau muncul di society, karena ujung kaki sampe ujung rambut ngga branded.  

Ironisnya, perilaku flexing bisa meningkatkan keinginan tubuh dalam memuaskan ego. “Kenapa sih emangnya? Toh hidup cuma sekali! Manfaatin dong.. Nikmatilah sekarang selagi bisa. YOLO.” 

Ngga ada salahnya flexing. But, play it wisely. Mungkin saja dengan flexing, bisa jadi lebih percaya diri dengan pencapaian yang diraih sehingga bisa sukses sampai saat ini. Tapi, berhati-hati, simbol status penampilan fancy serba branded, mobil mewah, bahkan privilege status, bisa saja mendapatkan networking atau teman baru. Namun bisa juga jadi boomerang untuk masa depan.

Kontroversi Paris Fashion Week di Indonesia

Photo by Cleo Vermij on Unsplash

Major event seperti Fashion Week selalu menjadi perhatian dunia, termasuk Indonesia. Namun, recently Indonesia dibuat heboh seantero dunia fesyen tahun ini. Terjadi mislead mengenai arti sebuah fashion week. Media sosial diramaikan dengan sejumlah brand lokal dari Indonesia yang mengumumkan tampil di Paris Fashion Week 2022. 

Mengejutkan lagi, pemberitaan di media lokal mengumumkan betapa bangganya Indonesia mengusung banyak selebriti lokal dan desainernya tampil di pagelaran paling legit di kancah internasional. Namun, alih-alih bangga akan hasil tampil di ajang internasional, bukan pembahasan positif yang muncul, malahan kontra dari netizen justru mengkritik brand Indonesiayang mengklaim bisnis mereka mengikuti gelaran kelas dunia itu.

Muncul kesalahpahaman tentang arti sebuah fashion week, terutama Paris Fashion Week 2022. Netizen dibuat terlena dengan kebanggaan bahwa Indonesia membawa harum nama bangsa di kancah internasional. Ngga tanggung-tanggung, tampil di Paris dengan membawa brand brand makanan, parfum, dan skincare ternama di Indonesia yang mengklaim akan tampil di Paris Fashion Week 2022. Memang benar kok acara mereka sebenarnya digelar di Paris. Namun ternyata acara mereka beda jauh dengan Paris Fashion Week

Padahal, kalau menilik jadwal resmi Paris Fashion Week, memang ada brand Indonesia yang diikutsertakan dalam acara itu. Namun, yang justru dengan mudahnya mempromosikan brand-nya ikutan Paris Fashion Week bukan dari brand yang secara resmi terdaftar. Bahkan mentioning nama Paris Fashion Week dalam postingan di media sosial. Nah, telusur tentang kontroversi ini, rupanya brand itu ngga diinvite, bahkan dikurasi oleh expertise dibidang fashion bahkan dengan penyelenggara Paris Fashion Week sekalipun.

Jadi ingin belajar lagi dari riset kecil-kecilan. Banyak banget insight story yang disampaikan oleh beberapa akun di media sosial. Salah satunya, yang menarik dibahas oleh beberapa akun tersebut adalah pembahasan tentang trik marketing yang didapuk menjadi salah satu pemicu munculnya kontroversi fashion week ini. Yes, ambush marketing.  

Ambush marketing merupakan strategi yang melibatkan tim brand yang mencoba mengaitkan produk atau layanan mereka dengan acara atau event besar yang sudah memiliki sponsor resmi perusahaan. Dalam kebanyakan kasus, itu terjadi selama acara olahraga dan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran merek dari perusahaan tertentu tanpa hak sponsor. (Source : sendpulse.com)

Ambush marketing ini bisa dikatakan sebagai action untuk mempergunakan momentum tanpa mau mengeluarkan materi alias uang guna mengambil keuntungan. Tujuannya cuma satu, secara oportunis bisa dapat ‘cuan’ dengan “menunggangi” event itu.

Merugikan secara nama besar Paris Fashion Week sudah pasti. Melemahkan kualitas para artist secara official dan curated sehingga resmi terdaftar dalam agenda, pun sudah tentu. Karena, hal ini juga merupakan aksi pencatutan nama event kelas internasional yang ‘sengaja’ diedifikasi ke netizen Indonesia, yang dikenal sangat mudah di ‘feeding’ dengan misleading information. 

Karena, kalau kita diskusi tentang ambush marketing, strategi marketing ini salah satu strategi pemasaran yang unik dan efektif.

Jika mereka si para pelaku ini paham, seharusnya bisa mengedifikasi lewat unggahan kontennya dengan informasi yang jujur dan dapat dipertanggungjawabkan. Ironisnya, aksi brand lokal ini justru disupport oleh instansi negeri sendiri. Sudah seeloknya bagi para pelaku ini memiliki rasa empati dan menghargai etika dalam berkomunikasi dan menyampaikan pesan kepada publik. 

Tidak ada yang salah secara hukum, selama itu menggunakan konten atau kalimat “Paris Fashion Show” atau “Fashion Show di Paris”, bukan “Paris Fashion Week”. Karena Paris Fashion Week sendiri sudah merupakan sebuah imej atau brand yang terdaftar secara resmi. Karena toh pada akhirnya, semua orang bisa bebas berkreasi dan mengembangkan sebuah ide atau kreativitasnya namun tetap harus berlandaskan moralitas dan etika. 

Meskipun terlihat tak etis, strategi ini valid dan legal. Maka dari itu, sebagai brand marketer, jangan ragu untuk manfaatkan metode ini untuk meningkatkan awareness brand.

Namun, kalau nasi sudah menjadi bubur seperti ini, bagaimana nasib brand tersebut? Harus tetap dipertanggungjawabkan, karena tetap harus diingat kalau inti dari sebuah brand building itu adalah trust, bagaimana brand bisa dipercaya oleh customer. Sepertinya mereka butuh tim public relation dulu untuk riset sebelum pergi ke Paris untuk melakukan fashion show.

Panjat Sosial, Panjat Status Terus : Bagian II

Kalau sang panjat sosial nggak pernah bahagia, kenapa banyak orang menjadi panjat sosial?

Photo by Joshua Rawson-Harris on Unsplash

Ternyata, jawabannya cukup jelas. Sang panjat sosial ingin selalu dihargai, dinilai tinggi. Padahal, menurut Psychology Today, perilaku panjat sosial  berasal dari rasa rendah diri dan kecenderungan yang cukup ekstrim tentang perbandingan diri sendiri dengan orang lain. Alih-alih menjadi center of attention sebuah acara, ternyata mereka sebenarnya merasa nggak aman terhadap diri mereka sendiri. Mereka akan selalu melihat orang lain lebih baik daripada mereka. Karir, penampilan, kualitas dan kepribadian. On and on, repeat. Dan.. karena panjat sosial nggak pernah percaya pada diri mereka sendiri, mereka menggunakan keberadaan orang lain untuk meningkatkan “nilai” dan “image” mereka. Inilah sebabnya mereka nggak akan pernah membangun persahabatan sejati karena jika mereka berpikir bahwa status kita lebih rendah dari mereka, persahabatan kita nggak akan pernah memuaskan kebutuhan harga diri mereka. Word!

Photo by Eliott Reyna on Unsplash

Krisis gaya hidup dan identitas mungkin juga menjadi alasan di balik munculnya para pansos ini di era millennium. Di era modernisasi digital yang santuy a.k.a santai sekaligus dinamis ini, semua orang ingin diakui. Ya, semua! Semua orang gaes! Teman-teman saya yang berada di circle age around 20an sampai 30an, hidup di jaman anak muda yang sukses, bergelimang harta juga hutang (yang ini nggak keliatan aja, di media sosial hanya terlihat gaya hidup fancy, tapi bayar pake cc! Makanya muncul istilah #paylater alias ngutang bro!). 

Mereka ingin dunia melihat bahwa mereka punya kehidupan. A better life, a fancier life, and yeah good lyfe! Panjat sosial bakal mengisi feed Instagram dengan pencapaian mereka penuh dengan barang branded, wefie dengan grup orang tenar nan populer yang dia pikir itu penting buat menaikkan level mereka, dan nggak peduli mereka bahkan nggak kenal dekat dengan orang itu. Kehidupan mereka sang panjat sosial sebenarnya ada hal positifnya (sedikit! nggak banyak!) yang penuh dengan hal-hal artifisial ketika mereka membangun dunia mereka berdasarkan status sosial dan kekayaan finansial.

Please, I do not judge a social climber as a bad people. Setiap orang punya pilihan kok, tanpa batas untuk memilih siapa yang mereka inginkan. I just feel bad for them. Mereka nggak bisa tahu soal definisi hidup yang sebenarnya, bagi saya, hidup sang pansos atau panjat sosial itu dari kebahagiaan, berkah, dan rasa menghargai hidup. Latar belakang para panjat sosial kebanyakan adalah orang-orang yang (mungkin) nggak pernah merasakan apa itu rasa dihargai dalam keluarga, trule love in relationship dan tentunya makna sejati human relationship. Sang pansos selamanya terobsesi dengan status sosial dan popularitas.

Photo by Eliott Reyna on Unsplash

Don’t let society’s success standards turn you into social climbers. They may seem like they have lives, but inside they are empty, always in search for something that will never satisfy them. And in the end, it’s not your social status that will be remembered when you’re dead. Rather, it’s your kindness and love!

Panjat Sosial, Panjat Status

Social climber, biasa disebut pansos atau panjat sosial, seringkali bikin keki berbagai pihak. Bagi si penyandang pansos, panjat sosial bukan lagi soal gengsi, tapi nilai harga diri naik 100%, yang bisa membuat mereka punya status lebih tinggi, rasa ingin dilihat dan dihargai “lebih” dari orang lain. Itu yang dicari! (Berusaha) menjadi lebih keren, lebih tajir, dan lebih eksis diberbagai platform media sosial.  

Photo by Alexis Brown on Unsplash

Menurut Urban Dictionary, panjat sosial adalah mereka yang menjadi teman orang lain jika orang itu memiliki sesuatu yang mereka inginkan atau butuhkan. Panjat sosial menghargai hubungan manusia berdasarkan popularitas dan status, karena kedua hal itu adalah kebutuhan utama mereka. Mereka tidak menghargai kedalaman dan keintiman dalam persahabatan mereka, karena mereka hanya berteman dengan orang-orang yang “mengenal orang.” Lebih sering daripada tidak, panjat sosial itu sifatnya sangat ambisius sekaligus kompetitif karena satu-satunya tujuan mereka adalah untuk “meraih klimaks”. Mereka nggak akan pernah merasa puas jika orang lain memiliki “status lebih tinggi” daripada mereka.

Photo by Alexis Brown on Unsplash

Panjat sosial terobsesi untuk menjalani kehidupan yang sempurna nan sukses dan mereka mencapainya dengan berteman dengan mereka yang mereka anggap berguna, tetapi mereka mungkin bukan orang yang paling bahagia…

Ceritanya, beberapa waktu lalu saya janjian sama beberapa teman kantor lama saya yang sudah lama nggak bertemu 10 bulan purnama. Pertanyaan klise selalu muncul, “Kerja dimana sih sekarang? Keren banget sih sekarang!”

Variasi pertemanan kita seputar generasi X (Born 1965-1980) dan Millennials (Born 1981-1996). Makanya karakter yang ada pun beragam beragam. Beberapa diantara mereka sudah menjadi pemuja gadget, bahkan pemuja jumlah followers di media sosial. Pengakuan diri di publik lewat media sosial sangat penting bagi mereka. Bukan lagi harga diri, tapi harga mati! Bicaranya pun mengalir sangat natural. Bicara soal brand gadget, fesyen, bahkan make up, yang harganya dibawah rata-rata, paling minim 500 ribu. 

Topik pun bergeser ke acara sosial yang mereka bilang ’wajib’ hadir karena eksistensi is a must, dengan alasan bertemu teman atau bahkan ajang networking night. Kenyataan bahwa teman-teman saya tampaknya telah berubah menjadi orang yang tidak saya kenal lagi. Pada masa transisi generasi ini, mereka telah menjadi orang yang menghargai benda buatan. Standar mereka as a part of the society nowadays atau mungkin budaya yang telah mengubah mereka menjadi orang yang selalu ingin mencari penerimaan dan pujian dari orang lain. Selain itu, tak pelak mereka pun terus “membual” tentang orang-orang yang mereka kenal yang bekerja di beberapa perusahaan bergengsi hingga kaum selebritas, yang mereka akui kenal ikrib. Saat itu, saya tertegun bahwa mayoritas teman-teman saya telah berubah menjadi panjat sosial.

Tujuan mereka sebagai panjat sosial agar “sampai pada posisi puncak” sering mengorbankan banyak gengsi dihidup mereka. Sulit bagi kaum panjat sosial bersyukur atas apa yang sudah mereka miliki. Mereka akan terus mencari lebih dan lebih banyak lagi, karena mereka tidak akan pernah benar-benar bahagia dengan kehidupan mereka sendiri.