Millennials, generasi yang selalu saja jadi spotlight. Millennial generation atau generasi Y, akrabnya disebut generation me atau echo boomers. Sejarahnya dulu, isitilah millenials yang diciptakan oleh dua pakar sejarah dan penulis Amerika, William Strauss dan Neil Howe ini, di klaim bahwa generasi millennial ini into digital technology. Serba wajib up-to-date di segala aspek kehidupan mereka. In modern words, we can say that Y generation itu adalah generasi yang tumbuh pada era internet booming (Source : Lyons, 2004).
Di era 2022 ini, millennial yang cukup sat set sat set bahkan expert banget di dunia teknologi sekarang ini, merupakan generasi yang cukup lihai memanfaatkan situasi. They rule the social media.
Bahkan, populasi generasi millennial yang jumlahnya sekitar 69 juta (*Hasil Sensus Penduduk Indonesia 2020 didominasi Generasi Y dengan total terdapat 69.38 juta atau 25,87% dari total penduduk Indonesia) orang ini berkompetisi meraih perhatian banyak orang dengan konten kreatif yang hadir di beragam platform media sosial yang unggul dibandingkan media konvensional lainnya. Salah satunya, pamer kesuksesan di media sosial. Kalau kamu belum berpenampilan branded dari ujung kaki sampe ujung kepala, berarti kamu belum sukses bestie!
Well, fenomena ini tergolong flexing. Sebuah fenomena sosial yang cukup meresahkan. Flexing itu adalah sebuah action yang memamerkan kekayaan yang dimiliki seseorang kepada orang lain.Kata “flexing” ini bisa dibilang sebuah kata yang punya arti yang negatif, dimana itu merupakan sebuah arti bagi seseorang yang suka menyombongkan diri, biasanya sih pamer kekayaan.
“Cuma buat fun aja kok.”
Boleh bestie, brodie.. As long as it real in your REAL life. Aktivitas flexing ini mungkin dianggap oleh para pelaku itu dibentuk hanya untuk kesenangan semata. Ujung kaki hingga ujung kepala di mark up nilainya ratusan juta hanya untuk sebuah outfit ngopi di coffee shop hits di Jakarta. But again, perilaku seperti ini bahkan bisa ditiru oleh orang banyak. We can sense that this is could be a new lifestyle in our generation. Memprihatinkan? For sure, bro!
Belum lagi di media soaial sudah makin banyak bestie dan brodie ini bebas ngonten dengan menayangkan sesuatu tanpa perantara editor, atau istilah umumnya no parental guide, ngga ada yang menyaring konten mereka wisely, sehingga semua orang bisa menjadi mudah terkenal.
Yang trending saat ini, mulai dari penampilan serba branded, kendaraan pribadi, hingga menjadi cepat kaya dengan investasi. Berujung pada tindakan penipuan atau fraud. Ternyata benar adanya, untuk sukses ternyata bisa semudah membuat Indomie, kawan! Instan.
Dalam konteks konten bagi followers-nya atau netizen, flexing bisa lho mempengaruhi alam bawah sadar kita. Kalau ngga dibatasi dengan knowledge dan lingkungan yang postif, mereka akan mengikuti orang lain yang dianggap punya power atau kelebihan lebih dibanding dirinya. At the end, pas kita melihat orang itu lebih sukses dari kita, hal seperti itu bisa jadi socialproof kalau orang yang sedang flexing ini bisa dijadikan mentor bahkan leader. Si pelaku flexing ini dengan mudahnya jadi motivator kalau mau jadi sukses itu hal yang mudah.
Tapi, kalau ngga ikutan trend ini, bakal ketinggalan banyak moment kekinian, yang akhirnya bikin orang jadi gampang banget terkena pengaruh negatif dari flexing ini. Akhirnya, mulai deh kena sindrom FOMO (Fear of Missing Out). Ujungnya jadi merasa tidak pecaya diri kalau muncul di society, karena ujung kaki sampe ujung rambut ngga branded.
Ironisnya, perilaku flexing bisa meningkatkan keinginan tubuh dalam memuaskan ego. “Kenapa sih emangnya? Toh hidup cuma sekali! Manfaatin dong.. Nikmatilah sekarang selagi bisa. YOLO.”
Ngga ada salahnya flexing. But, play it wisely. Mungkin saja dengan flexing, bisa jadi lebih percaya diri dengan pencapaian yang diraih sehingga bisa sukses sampai saat ini. Tapi, berhati-hati, simbol status penampilan fancy serba branded, mobil mewah, bahkan privilege status, bisa saja mendapatkan networking atau teman baru. Namun bisa juga jadi boomerang untuk masa depan.